Tantangan Berat Warga Tatahadeng yang bermukim di Kaki Gunung Karangetang : Mimpi Pembangunan yang Tertunda

Salah satu jalan produksi dan akses evakuasi bencana di Hekang.(Foto:Red)
banner 468x60

( Bagian I )
Oleh : Stenly Gaghunting

Siau – Meskipun Kabupaten Kepulauan Sitaro telah berdiri lebih dari satu dekade atau 16 tahun berjalan, tiga dusun yang terletak di bagian utara Kelurahan Tatahadeng yakni Dusun Luwaha, Hekang, dan Basaha terus mengalami minimnya perhatian dari pemerintah daerah.

Bacaan Lainnya
banner 300x250

Wilayah yang seharusnya mendapat perhatian serius terkait pembangunan, justru masih terabaikan, meskipun memiliki karakteristik yang sangat memerlukan intervensi pemerintah secara serius. Inilah yang menjadi tantangan berat dari warga yang bermukim di kaki Gunung Api Karangetang dengan mimpi pembangunan yang tetunda.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh awak media, sejak Kabupaten Kepulauan Sitaro terbentuk pada tahun 2008, wilayah ini hanya mendapat kurang dari empat kegiatan pembangunan yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat. Padahal, selain sebagai wilayah yang rawan bencana Gunung Api Karangetang, ketiga dusun ini juga mengalami berbagai kesulitan lainnya yang membutuhkan perhatian pemerintah.

Karakteristik Wilayah yang Rawan Bencana

Ketiga dusun tersebut terletak sangat dekat dengan Kawah Utama Gunung Karangetang, yang merupakan salah satu gunung api paling aktif di Indonesia. Jarak terdekat dengan puncak kawah hanya sekitar 1-2 kilometer dari batas wilayah paling utara, sementara pemukiman penduduk terletak dalam radius 3-4 kilometer dari kawah tersebut. Kondisi ini menempatkan wilayah tersebut dalam zona merah kawasan rawan bencana, termasuk ancaman luncuran awan panas dan banjir lahar dingin. Namun, sampai saat ini, tidak ada upaya yang signifikan dari pemerintah untuk membangun infrastruktur yang memadai untuk evakuasi atau mitigasi bencana.

Kondisi Infrastruktur yang Memprihatinkan

Bukan hanya ancaman bencana alam, ketiga dusun ini juga menghadapi kondisi infrastruktur yang sangat buruk. Di Dusun Hekang, misalnya, warga terpaksa melakukan perbaikan jalan secara mandiri, dengan iuran warga yang prihatin terhadap kondisi jalan yang rusak parah. Jalan rusak yang seharusnya menjadi akses utama untuk aktivitas perekonomian, pendidikan, dan kesehatan, tetap dibiarkan tanpa perbaikan serius dari pemerintah.

“Kalau tidak diperbaiki atau dibiarkan begitu saja, malah kami warga yang susah. Jadi tidak mengapalah kami perbaiki secara mandiri, daripada tidak ada kepastian sampai sekarang kapan jalan ini dibangun,” ungkap sejumlah warga yang enggan disebutkan namanya.

Perbaikan jalan secara swadaya ini sudah berlangsung hampir 10 tahun, namun belum ada tanda-tanda perhatian dari pemerintah daerah. Akibat jalan yang rusak, mobilitas warga terbatas, yang berdampak pada kesulitan akses evakuasi bencana, distribusi barang, serta pemenuhan kebutuhan dasar seperti kesehatan dan pendidikan.

Kesulitan dalam Pemenuhan Kebutuhan Dasar

Tidak hanya infrastruktur jalan, masalah lain yang cukup mengkhawatirkan adalah pemenuhan kebutuhan air bersih. Terutama di Dusun Basaha dan Hekang, warga terpaksa bergantung pada air hujan sebagai sumber utama air bersih. Ketika musim kemarau tiba, mereka harus mengeluarkan biaya yang cukup besar, sekitar Rp250.000 hingga Rp300.000 setiap dua minggu, untuk membeli air bersih. Biaya ini membengkak karena kondisi jalan yang tidak mendukung distribusi air bersih yang layak.

Selain itu, masalah transportasi yang terbatas berdampak langsung pada sektor pertanian dan perkebunan. Biaya angkut yang tinggi menyebabkan harga jual produk pertanian menjadi tidak kompetitif. Di sisi lain, kesulitan akses transportasi ini juga berdampak pada pendidikan anak-anak. Anak-anak di dusun tersebut harus menempuh perjalanan jauh dengan kondisi jalan yang rusak, yang memperburuk peluang mereka untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Dampak Kesehatan dan Keamanan

Selain kesulitan dalam hal ekonomi dan pendidikan, dampak dari kondisi infrastruktur yang buruk juga dirasakan dalam sektor kesehatan. Wilayah ini, yang rentan terhadap bencana alam, tidak memiliki akses yang memadai untuk evakuasi medis darurat. Bahkan, salah satu ruas jalan, Luwaha-Hekang, sudah beberapa kali menjadi lokasi kecelakaan lalu lintas akibat kondisi jalan yang ekstrem. Hal ini telah menyebabkan banyaknya korban jiwa di wilayah tersebut.

Tidak Terkoneksinya Akses Telekomunikasi

Lebih parah lagi, wilayah ini juga terisolasi secara telekomunikasi. Baik sinyal telepon maupun internet sulit diakses, sehingga menjadikan area ini sebagai zona blankspot. Warga kesulitan untuk mendapatkan informasi penting, terlebih dalam situasi darurat atau bencana.

Kurangnya Perhatian dari Pemerintah Daerah

Minimnya pembangunan dan perhatian dari pemerintah daerah terkait kondisi wilayah ini tidak terlepas dari kurangnya proaktivitas aparat pemerintah setempat. Sejak tahun 2009 hingga 2022, wilayah ini tampaknya terabaikan. Baru pada tahun 2023 dan 2024, pembangunan jalan setapak dan jalan produksi mulai dilakukan, namun itu masih sangat terbatas dan belum cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Salah satu hal yang semakin memperburuk situasi adalah kurangnya keseriusan dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sitaro dalam mendengar aspirasi masyarakat di wilayah ini. Meskipun berbagai keluhan dan kebutuhan mendesak telah disampaikan, tidak ada langkah konkret yang diambil untuk memperbaiki kondisi wilayah tersebut. Baik itu lewat Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) secara berjenjang.

Harapan untuk Masa Depan

Warga di Dusun Luwaha, Hekang, dan Basaha berharap ada perubahan nyata dalam perhatian dan pembangunan yang diberikan oleh pemerintah daerah. Mereka berharap pemerintah dapat segera memberikan solusi untuk masalah infrastruktur yang telah bertahun-tahun mereka alami, serta memperhatikan ancaman bencana yang semakin mendekat. Mengingat karakteristik wilayah yang rawan bencana, perhatian pemerintah sangat dibutuhkan agar masyarakat bisa hidup lebih aman dan sejahtera.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Terkait dengan permasalahan yang dihadapi oleh wilayah rawan bencana di Kabupaten Kepulauan Sitaro, ada beberapa peraturan perundang-undangan yang dapat menjadi landasan untuk menuntut perhatian pemerintah agar lebih serius dalam menangani kawasan-kawasan yang masuk dalam zona rawan bencana.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

Salah satu aturan yang paling relevan dalam konteks ini adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-undang ini mengatur tentang upaya penanggulangan bencana di Indonesia, dengan fokus pada pencegahan, kesiapsiagaan, dan pemulihan pasca bencana. Dalam Pasal 1, disebutkan bahwa penanggulangan bencana bertujuan untuk mengurangi risiko bencana melalui langkah-langkah mitigasi dan peningkatan kesiapsiagaan.

Mengingat wilayah Kelurahan Tatahadeng (termasuk Basaha, Hekang, dan Luwaha) berada dalam kawasan rawan bencana, sangat penting bagi pemerintah untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip mitigasi bencana, terutama terkait dengan perbaikan infrastruktur dan kesiapsiagaan evakuasi. Pemerintah daerah berkewajiban untuk melakukan penguatan terhadap infrastruktur dan memastikan bahwa jalur evakuasi dapat diakses dengan baik saat terjadi bencana.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pemerintah desa diamanatkan untuk berperan dalam penyelenggaraan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu prinsip yang harus diterapkan adalah memastikan bahwa desa atau kelurahan dapat melaksanakan pembangunan secara berkelanjutan, mencakup sektor ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Dalam hal ini, pemerintah Kelurahan Tatahadeng diharapkan lebih proaktif dalam mengidentifikasi potensi bencana yang dihadapi masyarakatnya, serta memprioritaskan pembangunan infrastruktur yang dapat mendukung keamanan dan kesejahteraan warga, khususnya yang berada di wilayah rawan bencana. Kelurahan juga harus bisa mengoptimalkan dana desa untuk pembangunan infrastruktur yang mendukung penanggulangan bencana, seperti perbaikan jalan, fasilitas evakuasi, dan sistem komunikasi darurat.

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penanggulangan Bencana

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penanggulangan Bencana juga memberikan pedoman lebih rinci mengenai penyelenggaraan penanggulangan bencana di Indonesia. Dalam peraturan ini, dijelaskan bahwa pemerintah daerah harus merencanakan dan melaksanakan langkah-langkah mitigasi bencana yang mencakup pembangunan infrastruktur yang lebih tahan bencana serta sistem peringatan dini.

Dalam hal ini, Pemkab Sitaro perlu segera mengalokasikan anggaran untuk perbaikan infrastruktur yang rusak, serta memastikan bahwa warga di wilayah rawan bencana memiliki akses yang memadai terhadap informasi dan layanan penanggulangan bencana. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan membangun dan memelihara jalur evakuasi yang dapat diakses dengan mudah dan aman oleh masyarakat.

Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Kepulauan Sitaro

Setiap kabupaten biasanya memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang pembangunan daerah dan penanggulangan bencana. Perda ini berfungsi sebagai pedoman operasional untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan pemerintah daerah dalam konteks lokal. Oleh karena itu, Pemkab Sitaro harus meninjau dan memastikan bahwa Perda yang ada mencakup ketentuan khusus mengenai penanggulangan bencana, pembangunan infrastruktur di wilayah rawan bencana, serta pemberdayaan masyarakat untuk menghadapi potensi bencana.

Pemerintah daerah juga harus memastikan bahwa dalam perencanaan anggaran daerah (APBD), alokasi untuk penanggulangan bencana dan perbaikan infrastruktur di wilayah rawan bencana mendapat porsi yang sesuai.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah mengatur tentang distribusi anggaran antara pusat dan daerah, termasuk dalam hal penanggulangan bencana. Pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk mengalokasikan anggaran untuk kegiatan penanggulangan bencana sesuai dengan tingkat kerentanannya. Oleh karena itu, melalui alokasi anggaran yang memadai, Pemkab Sitaro diharapkan dapat mendanai perbaikan infrastruktur yang penting untuk mitigasi bencana, serta memastikan kesiapan evakuasi bagi masyarakat di wilayah rawan bencana.

Data Wilayah dan Penduduk
Menurut data BPS Kabupaten Kepulauan Sitaro, Kecamatan Siau Timur dalam angka tahun 2021, Kelurahan Tatahadeng adalah salah satu kelurahan yang ada di Kecamatan Siau Timur dengan Luas Wilayah Menurut Desa/Kelurahan di
Kecamatan Siau Timur (km2), Luas (km2)nTotal Area (square.km) = 2,10 dengan persentase 5.30. Jarak Desa/Kelurahan ke Ibukota Kecamatan Siau Timur, sekitar 1 kilometer. Sedangkan Jumlah SLS Menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan Siau
Timur, Tatahadeng memiliki 6 SLS. Kemudian Jumlah Penduduk Dan Rasio Jenis Kelamin Laki-Laki = 1223 dan Perempuan = 1212, total = 2435. Kelurahan Tatahadeng memiliki jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 910 kk.

Dan Sebagian penduduk Tatahadeng ada ditiga dusun ini yakni Luwaha, Hekang dan Basaha. Dusun Basaha, Hekang dan Luwaha memiliki 3 (Tiga) Gedung Gereja, 1 (Satu) Sekolah Dasar (SD), 3 (Tiga) Lingkungan wilayah administratif, 1 (Satu) lokasi wisata alam dan wisata gunung api yang setiap tahun di kunjungi wisatawan local bahkan wisatawan asing. Dan sebagian besar hasil pertanian dan perkebunan di Kelurahan Tatahadeng ada di tiga dusun ini.(*/Red)

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *